21 Apr 2011

Renungan Kamis Putih

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCCgY4k2dUsRgSbSqZSKgdY0-zJ9QBwhBjuLgmsiPZ19Vunzkblkx0TQYvA6If5xEd5ykYyCzWXUYxu4JsV0NTVCVF44VFhMesRlvPR3fnEZL0RRKcIAxFLGoiBubyJHTd5kFqxg0sRYci/s320/untitled1.bmp

Dalam Kamis Putih kita diajak untuk merenungkan makna perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus bersama para rasul. Setiap orang bisa menafsirkan atau memaknai peristiwa ini. Bagiku malam Kamis Putih yang menarik adalah upacara pembasuhan kaki. Hal ini pun sudah banyak orang yang berusaha memaknainya. Aku mau membuat penafsiran tersendiri mengenai perjamuan malam terakhir.

Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Murid membasuh kaki gurunya sebab menganggap guru mempunyai status yang lebih terhormat daripadanya. Pada malam Kamis Putih Yesus mencuci kaki para murid. Jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas dihormati gurunya sedemikian rupa. Tapi Yesus tidak mundur dengan penolakan Petrus, bahkan Dia mengancam kalau Petrus tidak mau maka dia tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya. Aku yakin bahwa yang gelisah dan menolak bukan hanya Petrus melainkan semua murid dan mungkin juga Yudas. Apakah Yesus hanya mau mencari sensasi saja?

Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Yesus sejak awal berusaha membuat sebuah hukum baru, yang berbeda dengan aturan yang berlaku pada umumnya di dunia ini. Dalam Kotbah di Bukit dengan jelas Yesus hendak membangun suatu komunitas yang berbeda dengan masyarakat yang sudah ada. Hal ini bukan sifat Yesus yang aneh-aneh melainkan Dia berusaha membangun sebuah komunitas sempurna.

Dunia mengajarkan penghormatan adalah hak orang yang lebih tinggi martabatnya. Orang yang mempunyai jabatan, kekayaan atau kekuasaan. Orang miskin dan marginal hanya wajib menghormati namun dia tidak mendapat penghormatan. Rakyat wajib menghormati presiden sebaliknya presiden tidak mempunyai kewajiban menghormati rakyatnya. Anak wajib menghormati orang tuanya, sebaliknya orang tua tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan tidak jarang orang yang dianggap punya kekuasaan tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya dapat sewenang-wenang menindas orang yang dianggap lebih rendah. Penghormatan berlaku dari bawahan pada atasan.

Yesus membalik aturan dunia ini. Dia mengajarkan penghormatan dari atasan pada bawahan. Dari guru pada murid. Dari penguasa pada orang yang tidak berkuasa, dari orang terhormat pada para kaum proletar. Ini adalah pukulan penyadaran bagi para murid. Beberapa kali mereka memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka, sebab dengan merasa terbesar mereka berhak mendapatkan penghormatan dari yang lainnya. Ini adalah suatu bentuk ketidakadilan dimana orang hanya menuntut penghormatan sebaliknya dia tidak mau menghormati sesamanya.

Semua manusia adalah citra Allah. Bermartabat sama. Namun tata dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokan manusia dalam bermacam tingkatan. Pembagian ini berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara otomatis menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan kebangsawanan. Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang yang bukan bangsawan atau bangsawan yang lebih rendah. Apalagi mereka menikah dan sebagainya. Kisah kasih Pronocitro dan Roro Jogran mencerminkan adanya batasan itu. Dalam budaya Cina juga ada kisah Sam Pek dan Ing Tay yang mencerminkan hal yang sama. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi mendampatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik, kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan. Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka gelar akademik atau aneka jabatan. Semua gelar ditulis rapi agar orang yang tidak punya gelar menghormatinya. Tata nilai dunia ini tidak adil, sebab kapankah Mbok Jah yang hanya berjualan sayuran eceran atau Laksmi yang hanya seorang pekerja seks kelas teri di stasiun atau Asep yang hanya anak jalanan akan dihormati oleh orang lain yang bergelar profesor, berjabatan sekwilda dan sebagainya? Mereka hanya akan diperlakukan sewenang-wenang, tidak dianggap manusia, padahal martabat Asep sama dengan Pak Banu yang berpangkat jendral. Keduanya adalah citra Allah.

Suatu hari aku dan teman-teman dari rumah singgah diundang seseorang yang berulang tahun di sebuah rumah makan mewah. Ketika kami datang, maka orang itu langsung mempersilahkan aku duduk di tempat yang sudah disediakan, sedangkan teman-temanku yang lain tidak dipedulikan. Hal ini terjadi karena aku adalah seorang imam dan teman-temanku adalah anak jalanan. Padahal martabatku sama dengan mereka. Inilah nilai dunia yang hendak diubah oleh Yesus.

Penghormatan kepada kaum bawahan hanya bisa dilakukan bila orang yang dianggap atasan berani melepaskan atribut pemberian duniawi yang menempel di dirinya. Yesus melepaskan jubahnya yang melambangkan statusNya sebagai guru. Dia mengambil posisi hamba. Ini adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Yesus sadar bahwa Dia adalah Guru namun berani melepaskan lambang-lambang keguruan. Keguruan Yesus bukan terletak pada lambang jubah melainkan kewibawaannya dalam mengajar, teguh dalam prinsip, kearifan, kebijaksanaan, belas kasih dan sebagainya. Dengan demikian keguruan Yesus bukan dari apa yang ditempelkan oleh masyarakat melainkan apa yang ada dalam diriNya.

Pernah ada sekelompok kaum kaya yang ingin ikut bersamaku mengunjungi kaum miskin di sebuah daerah kumuh. Jauh sebelumnya aku sudah mengatakan pada mereka bahwa agar mereka menyesuaikan diri dengan orang yang akan dikunjungi. Namun pada hari kunjungan aku menjadi terheran-heran. Mereka memakai aneka asesoris yang bagi mereka sederhana namun bagi kaum miskin sebuah kemewahan yang membuat mereka bermimpi. Mereka tidak mau duduk di tikar yang sudah disediakan, sebab takut kotor, penyakit dan aneka alasan lain. Bagiku ini bukan bentuk penghormatan pada kaum miskin, sebab dengan sikap dan penampilan begitu kaum miskin masih harus menunduk-nunduk di hadapan mereka dan mengangguk-anggukan kepalanya pada setiap kata yang meluncur dari bibir para tamu, meski aku kadang ragu apakah mereka memahami yang dimaksudkan oleh para tamu itu.

Penghormatan terjadi kalau orang berani menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah. Yesus mencuci kaki para murid. Dia memposisikan diri sebagai budak. Namun Dia tidak menjadi budak para murid. Disini muncul ketegangan bagaimana aku dapat memposisikan diri sebagai budak namun tetap sadar bahwa aku bukan budak. Bagiku bergaul dengan anak jalanan, pengemis, gelandangan, pekerja seks, dan sebagainya bukan berarti aku harus menjadi bagian dari mereka. Aku tetaplah seorang imam. Aku harus tetap mempertahankan eksistensiku sebagai imam. Hal ini bukan dengan jubah putih, melainkan bagaimana aku bisa membawa mereka menjadi orang yang lebih baik. Tugas keimamanku yaitu membawa manusia untuk semakin dekat dengan Allah dan hidup lebih baik tidak aku letakan pada aneka gelar akademik atau jubah putih melainkan bagaimana perkataan, sikap hidup, dan pemikiranku mampu membawa kaum miskin mengenal Allah. Aku harus mampu duduk di tikar mereka, berpenampilan seperti mereka, berbicara dengan bahasa mereka dan sebagainya, namun aku masih harus tetap menghayati statusku sebagai imam dan sadar akan tugas perutusanku.

Disinilah sering kali timbul kesulitan besar. Maka dalam Kamis Putih aku diingatkan kembali akan semuanya itu oleh Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa Dia adalah Guru dan Tuhan mau melakukan pembasuhan kaki para murid.

selamat Paskah

salam

0 komentar:

Posting Komentar